SEORANG LELAKI MENGAYUH PERAHU DI LANGIT SENJA - Wandi Mutiara
News Update
Loading...

Rabu, 10 Agustus 2016

SEORANG LELAKI MENGAYUH PERAHU DI LANGIT SENJA

SEORANG LELAKI MENGAYUH PERAHU
DI LANGIT SENJA

Putri Aulia Ermawan





Karanghawu memotret zaman
Dalam warna senja
Seorang lelaki mengayuh perahu
Dalam sepi yang dalam
Dalam sunyi yang kelam
Wajahnya seluas gelombang lautan
Dalam matanya tersimpan beratus musim
Dalam tubuhnya berderak segala cuaca


Di karanghawu, lelaki itu melukis bendera tanah airnya

Dalam warna perahu yang lusuh
Jiwanya yang perkasa tak akan patah dihantam ombak
Tak akan goyah dipukul badai
Bila kemarau datang meranjau
Panasnya menjejakkan luka dan menabur bara api
Punggung lelaki itu sesabar setiap percik air, setabah aroma garam
Dan bila hujan datang meradang
Angin berderak ditiang pancang
Tubuh lelaki itu sekuat karang, sekeras cadas


Di karanghawu

Dalam warna senja, seorang lelaki mengayuh perahu
Di hadapan lautan, ombak menghampar, takzim dalam tatapan matanya.
Ia melihat ikan lenyap entah kemana
Samar-samar asap pohon-pohon gemeretak dari jauh memenuhi langit
Udara berkabut dalam hidup yang kalut
Ia cintai wajah tanah airnya dengan segala kerja,segala doa


(Dari televisi, terdengar nyanyian Indonesia yang dibalut kemelut doa-doa dan fatwa berterbangan diantara iklan kosmetik dan merk-merk sabun mandi)

Jauh dilubuk segala peristiwa Lelaki itu telah menjaring beribu hari. Ia cintai wajah tanah airnya dengan keringat dan airmata
Ia ajari anak-anaknya membaca paragraf-paragraf  kehidupan

Syair-syair matahari dan rembulan. Bait-bait dan kidung luhur
Ia bacakan buku-buku kehidupan yang terbuka
“Inilah cintaku padamu tanah airku”


Tetapi di setiap hari, lelaki itu melihat hama dan epidemi yang menjelma dan bermunculan di televisi. Suara-suara bertumbangan. Tangisan yang samar mengirimkan berita dan bencana. Orang-orang mencuri hari di meja-meja birokrasi, menghitung angka-angka. Berkhianat dalam syahwat kesumat yang cacat. Menyakiti bangsanya sendiri dengan kebohongan.

Pohon-pohon terbakar, tanah terkapar, dan meja-meja birokrasi mengepulkan asap pengkhianatan. Pidato-pidato politik berselewengan seperti epidemi yang menyelasar wajah tanah air yang ia cintai)


Setiap malam sebelum berangkat ke laut

Lelaki itu menatap luas lautan lalu menyemai doa
“Wahai Tuhan penakluk lautan! Kirimkanlah segala dzikir melalui setiap lorong lautan
Datangkanlah kepada kami kerang dan ikan-ikan
Perlihatkanlah keperkasaan dan kemurahanmu diujung jala
Akan kukirim segala dzikir melalui buih ombak
Akan kugumamkan doa melalui getar udara dan cuaca
Aku takluk dan tunduk dihadapan wajah lautanMU
Wahai Tuhan yang maha pemurah! Telah kubajak hari-hariku dengan sepenuh cintaku. Tubuh yang meneteskan keringat adalah ibadahku
Pedih dalam telapak tanganku adalah dzikir tak sudah-sudah
Tuhanku yang maha perkasa!
Semaikanlah dibumi kami cintamu yang tak lekang
Dedahkanlah di dada kami kekuatan yang tak pupus di hadapan segala kesulitan”


Di karanghawu

Lelaki itu melihat warna dalam fajar dalam warna yang murni
Dan dibentangan waktu dan langit biru
Doa-doa itu mengekalkan cahaya di sepanjang pantai
Di atas lembar-lembar kehidupan
Di kedalaman surga rumahnya


Cinta dan tanah airnya.

Share with your friends

Give us your opinion

Catatan:
Saya sangat mengharapkan tanggapan/saran dari anda
Dilarang Menghina
Berkomentar dengan sopan
Hargai Orang Lain
Bila Mengcopy Artikel ini sertakan Sumbernya

Notification
This is just an example, you can fill it later with your own note.
Done